Pandangan seni di masyarakat sangat beragam, karena masyarakat terdiri dari berbagai disiplin ilmu, budaya, dan strata social. Dari berbagai keberagaman yang ada di masyarakat tersebut terkandung suatu system nilai yang mana mendominasi nilai-nilai lain didalamnya, seperti nilai spiritual dan nilai social yang sangat terlihat dalam praktiknya. Paradigma seni yang ada di masyarakat, segala sesuatu di nilai tinggi berdasarkan materinya. Misalnya seperti paradigma yang ada di masyarakat kalangan menengah ke bawah. Seni hanya untuk seni dalam konteks hiburan (profane), mereka tidak ingin tahu sejauh mana nilai yang terkandung dalam seni tersebut mereka hanya mengandalkan kesenangan belaka ketika melihat objek seni yang mereka anggap menarik. Mereka hanya mengandalkan nilai dasar, yakni karya seni yang mampu memberi kenikmatan yang bersifat materi, meskipun seni tersebut mengandung nilai norma yang kurang baik. Berbanding terbalik dengan paradigma yang ada di masyarakat terpelajar yang mana lebih bersifat ontologism, artinya lebih mengandalkan pola fikir intelektual berdasarkan pengetahuan. Estetika dari karya seni yang dihasilkanpun lebih bersifat intelektual dan lebih mengandalkan nilai-nilai normative yang positif. (Jakob Sumardjo “Filsafat Seni” 2000: 229).
Kini di masyarakat Negara kita sudah menjadi masyarakat yang majemuk, kompleks, dan universal sehingga kita sudah tidak dapat membedakan mana budaya local suatu daerah dengan daerah lain. Mana masyarakat desa, mana masyarakat kota. Bila kita lihat sekarang malah berbanding terbalik dan terkesan paradox, ketika masyarakat desa berpakaian seperti masyarakat desa, begitu pun sebaliknya. Hal ini pun terjadi pada kesenian tradisi yang berada di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang majemuk dan lebih parahnya lagi masyarakt Indonesia yang sudah menganut faham kapitalis[1] dan postmodern[2].
Kita lihat berbagai fenomena keberadaan seni tradisi di Negara kita, lebih khususnya lagi seni tradisi Sunda. Kini banyak yang beralih fungsi dan keberadaannya. Penulis memiliki hipotesa, bahwa perubahan bentuk dan fungsi kesenian tradisi kita merupakan salah satu akibat dari era posmodernisme seperti sekarang ini. Sementara itu, dunia akademis dihadapkan pada kegalauan epistemology[3], yaitu kegalauan tentang teori yang mampu menjelaskan cakupan, metode, dan keabsahan pengetahuan yang digunakan.
Kesenian tradisi di tengah-tengah masyarakat yang kompleks sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan kesenian tradisi tersebut. Seperti halnya di masyarakat perkotaan yang secara umum terdiri dari berbagai kalangan masyarakat. Dengan demikian disana terdapat multi etnis, multi disiplin ilmu, multi kultur yang menyebabkan kehidupan kesenian tradisi terakulturasi dan menyesuaikan dengan kekomplekan paradigma masyarakat tersebut. Berbeda dengan kesenian tradisi yang ada di kalangan masyarakat desa dan memang kesenian tersebut berada pada habitatnya. Mereka akan tetap memegang nilai-nilai tradisi yang mereka anggap sebagai warisan budaya dari leluhurnya.
Sementara itu, bagaimana dengan keadaan kesenian tradisi ditengah-tengah masyarakat modern ini? Apakah mereka harus menyesuaikan diri dengan paradigma yang serba kompleks tadi? Atau kah harus tetap pada pendirian yang statis seperti halnya berada di habitat kesenian tersebut? Pertanyaan tersebut memang terkesan paradok[4], di satu sisi kesenian tradisi di tuntut untuk terus menjaga keaslian dan ketradisiannya, namun disisi lain juga harus mengeikuti perkembangan zaman demi kelangsungan eksistensi kesenian tersebut.
Menilik posisi seniaman sebagai manusia yang ‘bebas nilai’, sudah sepantasnya seniman peduli terhadap konteks nilai yang melahirkan seni tradisi tersebut. Dari sana kita dapat bekerja untuk menyempurnakan dunia seni masa lampau tersebut. Seniman tidak seharusnya melakukan signifikasi[5] atau menafsirkan benda seni tradisi berdasarkan tata nilainya sendiri sekarang ini, atau ditafsirkan berdasarkan konteks nilai kita sendiri. Dunia seni adalah dunia penyempurnaan, dunia tata nilai ideal yang baru yang ‘menyelesaikan’ kenyataan tata nilai yang dikandung dalam seni tradisi.
Seni tradisi kita biasanya masih hidup segar di masyarakat pedesaan dan perkauman etnik. Masyarakat ini punya konteks tata nilai sendiri yang berbeda dengn konteks tata nilai masyarakat perkotaan. Masyarakat perkotaan pun terbagi-bagi lagi dalam beberapa sub-konteks tata nilai. Jelas bahwa seni tradisi yang masih hidup segar dalam kontek ideology masyarakat pedesaan harus didekati secara objektif berdasarkan tata nilai mereka.[6]
Seni tradisi yang hidup di desa masih membawa bentuk aslinya sebagian atau keseluruhan, tergantung pada terpencil tidaknya masyarakat desa tersebut dari masyarakat kota, dan juga apakah mereka menerima estetika asing yang diserap dikota? Konteks tata nilai seni tradisional yang masih segar hidup di pedesaan harus dilihat berdasarkan sejarah perubahannya, akibat pengaruh budaya kota. Pemahaman konteks tata nilai seni tradisional ini berguna untuk melihat secara objektif latar social (konteks budaya) setiap karya seni tradisional.
Dengan demikian, penulis dapat menyimpulkan bahwa eksistensi kesenian tradisi pun sangat penting, kita dapat melihatnya kembali agar kita dapat menawarkan tata nilai baru yang lebih sempurna, lebih baik daripada kenyataannya di masyarakat desa sekarang. Kesenian tradisi pun tidak seharusnya bergerak statis mengikuti tatanan ketabuan tradisinya. Namun seharusnya bisa lebih luwes seiring perkembangan zaman dengan tidak meninggalakan nilai-nilai estetis dan nilai-nilai fungsional ketradisiannya sebagai warisan budaya leluhur.***
[1] Kapitalisme atau Kapital adalah suatu paham yang meyakini bahwa pemilik modal bisa melakukan usahanya untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya (www.wikipedia.com)
[2] Adalah gerakan kebudayaan pada umumnya, yang dicirikan oleh penentangan terhadap pola hidup setelah zaman modern
[3] Referensi: Http://Kamusbahasaindonesia.Org/Epistemologi
pis.te.mo.lo.gi : [n] cabang ilmu filsafat tt dasar-dasar dan batas-batas pengetahuan
[4] paradox berarti seolah-olah bertentangan (berlawanan) dengan pendapat umum atau kebenaran, tetapi kenyataannya mengandung kebenaran.
[5] Signifikasi merupakan proses pemahaman yg menggunakan tanda-tanda lahir yg mudah dilihat; pengertian:penghuni daerah itu perlu dihaluskan dan dibudayakan dng cara
[6] Soemardjo, jakob.filsafat seni.tahun 2000.hal ;338-339