Seni dalam Pandangan Ulama Islam (Part 1)

Loading

Oleh : Lukman Zen

Lukisan Karya Yusa Widiana

Sebelum kita membahas dan mendiskusikan pendapat para fuqaha, khususnya para imam mazhab yang empat terlebih dahulu kami kutipkan pendapat mereka tentang seni suara beserta dalil‑dalilnya, baik dari golongan yang meng­haramkan maupun yang membolehkannya.

  1. Imam Asy Syaukani, dalam kitabnya Nailut Authar4) menyatakan sebagai berikut :
    1. Para ulama berselisih pendapat tentang hukum menyanyi dan alat musik. Menurut mazhab jumhur adalah haram, sedang­kan mazhab ahlul madinah, azh zhohiriyah dan jama’ah sufiyah
    2. Abu Mansyur Al Baghdadi (dari mahzab Asy Syafi’i) menyatakan : ‘Abdullah bin Ja’far’ berpendapat bahwa menyanyi dan musik itu tidak menjadi masalah. Dia sendiri pernah men­ciptakan sebuah lagu untuk dinyanyikan para pelayan (budak) wanita (jawari) dengan alat musik seperti Ini terjadi pada masa Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib r.a.
    3. Imam Al Haramain di dalam kitabnya An Nihayah menukil dari para ahli sejarah bahwa Abdullah bin Az Zubair memiliki beberapa jariyah (wanita budak) yang biasa memainkan alat gambus. Pada suatu hari Ibnu Umar datang kepadanya dan melihat gambus tersebut berada di sampingnya. Lalu Ibnu Umar bertanya, “Apa ini wahai sahabat Rasulullah?” Setelah diamati sejenak, lalu ia berkata, “Oh, ini barangkali timbangan buatan negeri Syam,” ejeknya. Mendengar itu Ibnu Zubair berkata, “Digunakan untuk menimbang akal manusia.”
    4. Ar Ruyani meriwayatkan dari Al Qaffal bahwa mazhab Maliki membolehkan menyanyi dengan ma’azif (alat‑alat musik yang berdawai).
    5. Abu Al Fadl bin Thahir mengatakan: “Tidak ada perselisihan pendapat antara ahli Madinah tentang menggunakan alat gambus. Mereka berpendapat boleh saja.”
    6. Ibnu An Nawawi di dalam kitabnya Al Umdah mengatakan bahwa para sahabat Rasulullah yang membolehkan menyanyi dan mendengarkannya antara lain Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqas dan lain‑lain. Sedangkan dari tabi’in antara lain Said bin Musayyab, Salim bin Umar, Ibnu Hibban, Kharijah bin Zaid, dan lain‑lain.
  2. Abu Ishak Asy Syirazi dalam kitabnya Al Muhazzab5) berpendapat :
    1. Diharamkan menggunakan alat‑alat permainan yang mem­bangkitkan hawa nafsu seperti alat musik gambus, tambur (lu­te), mi’zah (sejenis piano), drum dan seruling.
    2. Boleh memainkan rebana pada pesta perkawinan dan khitan­an. Selain dua acara tersebut tidak boleh.
    3. Dibolehkan menyanyi untuk merajinkan unta yang sedang berjalan.
  3. Al ‘Alusi dalam tafsirnya Ruhul M’ni 6) mengatakan :
    1. Al Muhasibi di dalam kitabnya Ar Risalah berpendapat bahwa menyanyi itu haram seperti haramnya bangkai.
    2. At Thursusi menukil dari kitab Adabul Qadha bahwa Imam Syafi’i berpendapat menyanyi itu adalah permainan makruh yang menyerupai pekedaan batil (yang tidak benar). Orang yang banyak mengerjakannya adalah orang yang tidak beres pikirannya dan ia tidak boleh menjadi saksi.
    3. Al Manawi mengatakan dalam kitabnya Asy Svafbut Kabir bahwa menurut mazhab Syafi’i menyanyi adalah makruh tanzih yakni lebih baik ditinggalkan daripada dikelakan agar dirinya lebih terpelihara dan suci. Tetapi perbuatan itu boleh dikerja­kan dengan syarat ia tidak khawatir akan terlibat dalam fitnah.
    4. Dari murid‑murid Al Baghawi ada yang berpendapat bahwa menyanyi itu haram dikerjakan dan didengar.
    5. Ibnu Hajar menukil pendapat Imam Nawawi dan Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa haramnya (menyanyi dan main musik hendaklah dapat dimengerti karena hal demikian biasanya disertai dengan minum arak, bergaul dengan wanita, dan semua perkara lain yang membawa kepada maksiat. Adapun nyanyian pada saat bekerja, seperti mengangkat suatu yang berat, nyanyian orang Arab untuk memberikan semangat berjalan unta mereka, nyanyian ibu untuk mendiamkan bayinya, dan nyanyian perang maka menurut Imam Awza’iy adalah sunat.
    6. Jama’ah Sufiyah berpendapat boleh bernyanyi dengan atau tanpa iringan alat-alat musik.
    7. Sebagian ulama berpendapat boleh menyanyi dan main alat musik tetapi hanya pada perayaan‑perayaan yang memang dibolehkan Islam, seperti pada pesta pernikahan, khitanan, hari raya dan hari‑hari lainnya.
    8. Al ‘Izzu bin Abdussamam berpendapat bahwa tarian-tarianitu bid’ah. Tidak ada laki-laki yang mengerjakannya selain orang yang kurang waras dan tidak pantas, kecuali bagi wanita. Adapun nyanyian yang baik dan dapat mengingatkan orang kepada akhirat tidak mengapa, bahkan sunat dinyanyikan.
    9. Imam Balqini berpendapat tari‑tarian yang dilakukan di hadapan orang banyak tidak haram dan tidak pula makruh karena tarian itu hanya merupakan gerakan‑gerakan dan belitan serta geliat anggota badan. Ini telah dibolehkan Nabi SAW kepada orang‑orang Habsyah di dalam mesjid pada hari raya.
    10. Imam Al Mawardi berkata, “Kalau kami mengharamkan nyanyian dan bunyi‑bunyian alat‑alat permainan itu maka maksud kami adalah dosa kecil bukan dosa besar.”
  4. Abdurrahman At Jaziri di dalam kitabnya Al Fiqh Al Mazahibi Al Arba’a7) mengagatakan :
    1. Ulama‑ulama Syafi’iyah seperti yang diterangkan oleh Al Ghazali di dalam kitab Ihya Ulumuddin. Beliau berkata, “Nash‑nash syara’ telah menunjukkan bahwa menyanyi, menari, memukul rebana sambil bermain dengan perisai dan senjata‑senjata perang pada hari raya adalah mubah (boleh) sebab hari seperti itu adalah hari untuk bergembira. Oleh karena itu hari bergembira dikiaskan untuk hari‑hari lain, seperti khitanan dan semua hari kegembiraan yang memang dibolehkan syara’.
    2. Al Ghazali mengutip perkataan Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa sepanjang pengetahuannya tidak ada seorang pun dari para ulama Hijaz yang benci mendengarkan nyanyian suara alat‑alat musik, kecuali bila di dalamnya mengandung hal‑hal yang tidak baik. Maksud ucapan tersebut adalah bahwa macam‑macam nyanyian tersebut tidak lain nyanyian yang bercampur dengan hal‑hal yang telah dilarang oleh syara’.
    3. Para ulama Hanafiyah mengatakan bahwa nyanyian yang diharamkan itu adalah nyanyian yang mengandung kata‑kata yang tidak baik (tidak sopan), seperti menyebutkan sifat‑sifa jejaka (lelaki bujang dan perempuan dara), atau sifat‑sifat wanita yang masih hidup. Adapun nyanyian yang memuji keindahan dan pemandangan alam lainnya maka tidak ada larangan sama sekali. Memang ada orang‑orang yang menukilkan pendapat dari Imam Abu Hanifah yang mengatakan bahwa ia benci ter­hadap nyanyian dan tidak suka mendengarkannya. Baginya orang‑orang yang mendengarkan nyanyian dianggapnya telah melakukan perbuatan dosa. Disini harus dipahami bahwa nyanyian yang dimaksud Imam Hanafi adalah nyanyian yang bercampur dengan hal‑hal yang dilarang syara’.
    4. Para ulama Malikiyah mengatakan bahwa alat‑alat permainan yang digunakan untuk memeriahkan pesta pernikahan hukumnya boleh. Alat musik khusus untuk momen seperti itu misalnya gendang, rebana yang tidak memakai genta, seruling dan terompet.
    5. Para ulama Hanbaliyah mengatakan bahwa tidak boleh meng­gunakan alat‑alat musik, seperti gambus, seruling, gendang, rebana, dan yang serupa dengannya. Adapun tentang nya­nyian atau lagu, maka hukumnya boleh. Bahkan sunat mela­gukannya ketika membacakan ayat‑ayat Al Qur’an asal tidak sampai mengubah aturan‑aturan bacaannya.*** (bersambung)