Korupsi Sebagai Kebiasaan yang Menyakitkan

Loading

📰 Korupsi Sebagai Kebiasaan yang Menyakitkan

Korupsi di Indonesia telah menjadi fenomena sistemik dan meresap dalam berbagai lapisan pemerintahan, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Terlebih, banyak pelaku korupsi tampak tidak takut karena hukuman seringkali ringan, dapat dikompensasi atau dikurangi melalui jual beli proses hukum. Kondisi ini menunjukkan kegagalan sistem hukuman sebagai deterrent dan penegakan integritas publik.


🏛️ Akibat Hukum yang Ringan & “Bisa Dibeli”

Sebagian besar tersangka korupsi hanya menghadapi hukuman penjara beberapa tahun—tidak sebanding dengan kerugian yang ditimbulkan negara. Statistik menunjukkan masih lemahnya “shock therapy” melalui hukum, membuat para pelaku tidak merasa terancam arxiv.org+3bircu-journal.com+3unramlawreview.unram.ac.id+3.


⚖️ Solusi Ekstrem: Hukuman Mati

Beberapa negara menerapkan hukuman mati bagi koruptor kelas kakap—China, Vietnam, bahkan Indonesia memiliki ketentuan dalam UU Tindak Pidana Korupsi .

  • Vietnam baru-baru ini menjatuhkan hukuman mati terhadap pebisnis yang merugikan negara miliaran dolar .

  • China mengeksekusi pejabat tinggi seperti Hu Changqing dan Wei Pengyuan .

Efek jera ini menimbulkan kekhawatiran: akan tetapi selain memotong rantai korupsi, juga berpotensi menciptakan ketakutan berlebihan dan ambiguitas hukum.


🙇‍♂️ Pendekatan Budaya: “Culture of Shame”

Budaya malu—yang kuat di Jepang—ternyata mampu menjadi penghambat kuat terhadap korupsi. Wulandari & Parman menunjukkan bahwa masyarakat Jepang cenderung tersinggung dan menolak kandidat yang tertangkap korupsi media.neliti.com. Hal ini sejalan dengan paradigma bahwa budaya malu efektif untuk mencegah pelanggaran moral.

Di sisi lain, Indonesia belum membentuk budaya malu serupa, sehingga korupsi masih sering dianggap sebagai “kelaziman sosial”.


🌐 Pendekatan Global & Teori Pendukung

  1. Konsep Transparency Culture (Husted, Blanc): mengajarkan bahwa transparansi dan disclosure mampu menurunkan praktek korupsi dengan mendorong internal ethical behavior dalam organisasi researchgate.net.

  2. Sosial-Kultural Kapital (Wachs et al.): komunitas dengan jaringan sosial luas (bridging capital) cenderung lebih resisten terhadap praktik korupsi dibanding kelompok tertutup arxiv.org.


🛠️ Solusi yang Terukur & Komprehensif

PendekatanDetail
Hukuman TegasPerlu ada “shock therapy” hukum: misalnya confiscation of assets, lifetime bans, dan hukuman berat (20–30 tahun, bahkan mati bagi mega korupsi) .
Budaya Malu & Etika PublikMulai dari pendidikan karakter sejak dini melalui sekolah dan keluarga—belajar Jepang lewat seikatsuka dan pelarangan “gratifikasi” (tip) .
Transparansi & PublikasiPeningkatan disclosure, aset, dan lemma: publik melihat dan ikut melakukan kontrol sosial .
Kemitraan GlobalTerapkan kerangka internasional seperti OECD untuk memperkuat hukum pemberantasan korupsi .
Penindakan EksekutifTindak nyata pejabat yang melakukan korupsi, tanpa pandang bulu, sebagai bukti keadilan dan tanpa kompromi jawatan politik.

🧭 Rangkuman dan Rekomendasi

  1. Perkuat hukum & penegakan – tingkatkan ancaman hukuman maksimum, hapus celah hukum, dan tegakkan confiscation of assets.

  2. Budaya malu – tanamkan sejak sekolah dan keluarga, jadikan korupsi terkutuk secara sosial.

  3. Transparansi tinggi – tingkatkan keterbukaan, pemantauan publik, serta akses data aset dan anggaran.

  4. Sinergi global – adopsi standar OECD, bentuk lembaga gabungan, serta dukung whistleblowers.

  5. Kepemimpinan tegas – pemerintah harus memberi efek jera dengan menindak pejabat besar.


📚 Daftar Pustaka & Referensi


Dengan kombinasi pendekatan hukum tegas dan budaya malu, serta diyakininya peran negara dalam transparansi dan kemitraan global, korupsi akan semakin terdesak. Kalaupun belum bisa dihilangkan, setidaknya derajatnya bisa diperkecil hingga menjadi sesuatu yang benar‑benar memalukan & tidak bisa dimaafkan.

Semoga analisis ini bermanfaat untuk memperbarui strategi pemberantasan korupsi dengan pendekatan lebih holistik.