Islam dan Seni

Loading

Ilustrasi Lukisan Karya  Jaya Masloman

Seni adalah ekspresi ruh yang mengandung dan mengungkap keindahan. Syair, nyanyian, tarian, dan peragaan di pentas, lukisan atau pahatan, semuanya adalah seni, selama terpenuhi  unsur keindahan.

Tidak mudah mendefinisikan keindahan. Kendati nalar meletakkan syarat dan ukuran, tetapi bukan nalar itu yang menetapkannya. Ukuran dan syarat itu bersumber dari dalam diri manusia atau masyarakat. Allah swt. menganugerahkan manusia  rasa bagaikan reciever yang peka sehingga dengan mudah seseorang menangkap, merasakan, dan menyambutnya. Itulah salah satu  fitrah yang dianugerahkan Allah kepada manusia.

Seni adalah keindahan. Ia dapat tampil dalam beragam bentuk dan cara. Apa pun bentuk dan caranya, selama  arah yang ditujunya mengantar manusia ke nilai-nilai luhur, maka ia adalah seni Islami. Karena itu, Islam dapat menerima aneka ekspresi keindahan selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai al-Khair dan al-Ma’ruf, yakni nilai-nilai universal yang diajarkan Islam serta nilai lokal dan temporal yang sejalan dengan budaya masyarakat selama tidak bertentangan dengan  al-Khair tersebut. “Allah Maha-indah menyukai  keindahan,” sabda Rasul saw. Dia menganugerahi manusia fitrah menyenangi keindahan. Karena itu, mustahil seni dilarang-Nya, kecuali jika ada unsur luar yang menyertai seni itu. Siapa yang tidak tergerak hatinya di musim bunga dengan kembang-kembangnya atau oleh alat musik dengan getaran nadanya, maka fitrahnya telah mengidap penyakit parah yang sulit diobati. Demikian kata al-Ghazaly.

Dari sini setiap karya, karsa, dan rasa yang mengantar kepada peningkatan, bukan saja diizinkan-Nya, tetapi direstui dan didorong-Nya, sebaliknya semua yang mengantar ke selera rendah dibenci dan dikutuk-Nya.

Siapa pun yang mempertemukan secara indah wujud ini dengan Tuhan, maka upayanya itu adalah seni Islami. Yang tidak mempertemukannya bukanlah seni Islami. “Art for Art” tidak dikenal oleh kamus ajaran Islam karena bagi seorang Muslim, seluruh gerak dan diamnya harus diarahkan kepada-Nya, “Shalatku, ibadahku, hidup dan matiku adalah untuk Allah swt.” (QS. al-An’âm [6]: 162).

Setiap seniman, bahkan siapa pun yang jujur dengan profesinya, pasti memiliki pandangan hidup menyangkut manusia, alam, dan kehidupan. Pandangan itu bisa luas dan langgeng, bisa juga terbatas wilayah dan masanya. Seni Islami menuntut seniman untuk memandang alam ini tidak terbatas pada sisi materialnya atau hanya di sini dan sekarang, tetapi jauh ke sana, bersama “ruh kehidupan” yang menyertainya—kendati sesuatu itu tidak bernyawa—lalu pada akhirnya bergerak mengarah dan bertemu dengan Sang Pencipta. Langit dan bumi serta segala isinya dalam pandangan kitab suci al-Qur’an amat indah, seimbang, dan serasi serta hidup, bahkan bertasbih memuji dan mengarah kepada-Nya (QS. al-Isrâ’ [17]: 44). Bukit  Uhud dilukiskan oleh Nabi saw. sebagai mencintai kita dan kita pun mencintainya.

Banyak yang menyalahpahami sikap Islam terhadap seni atau paling tidak mempersempit ruang lingkup yang dibenarkan agama ini, padahal ruang lingkupnya amat luas. Bermula dalam bentuk mengekspresikan keindahan lahiriah manusia—pakaian, penampilan, cara dan susunan tuturnya—hingga keindahan batin melalui kepekaan rasa yang melahirkan budi pekerti dan interaksi harmonis. Setiap agama memunyai keindahan dan keindahan Islam adalah pada budi pekertinya. Keindahan yang diajarkan serta dianjurkan untuk diekspresikan adalah yang lahir dari rasa yang suci, jiwa yang bersih serta akal yang cerdas guna menonjolkan keindahan ciptaan Allah atau kebesaran Kuasa-Nya.

Puluhan ayat-ayat al-Qur’an yang menggugah manusia memandang keindahan yang terhampar di bumi seperti keindahan  terbitnya matahari hingga terbenamnya atau  kebun-kebun yang melahirkan pandangan indah, demikian juga keindahan yang terbentang di langit dari curahan airnya yang menumbuhkan aneka bunga dan kembang sampai dengan taburan bintang-bintangnya yang memesona. Kitab suci al-Qur’an menggunakan keindahan bahasa dan ketelitian makna untuk mengekspresikan keindahan-keindahan itu.

Keindahan bahasanya, saat dibaca, melahirkan apa yang dinamai oleh sementara pakar dengan “Musik al-Qur’an”, yakni nada dan langgam yang menyentuh pendengarnya, baik dipahami makna ayatnya maupun tidak. Bukan hanya itu, Nabi Muhammad saw. pun membenarkan nyanyian-nyanyian yang menggugah hati  atau yang menimbulkan semangat. Jangan duga bahwa nyanyian Islami harus berbahasa al-Qur’an. Lagu-lagu Barat pun dapat merupakan eskpresi keindahan yang sejalan dengan nilai-nilai Islam, dan sebaliknya tidak  jarang  lagu-lagu berirama  Timur Tengah yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam dalam syair atau penampilan penyanyinya.

Memang sebagian di antara ekspresi keindahan yang kita kenal dewasa ini belum terjamah pada masa Nabi Muhammad saw. dan sahabat-sahabat beliau atau bahkan terlarang akibat kondisi-kondisi tertentu ketika itu. Sebagai contoh, seni pahat. Dahulu “seni” ini secara tegas terlarang karena ia dijadikan sarana ibadah kepada selain Allah. Jika pahatan itu tidak mengarah kepada penyembahan selain Allah, tetapi merupakan ekspresi keindahan, maka ia boleh-boleh saja. Bukankah—kata ulama—Nabi Sulaiman pun memerintahkan untuk membuat antara lain patung-patung (QS. Saba’ [34]: 13) yang tentunya bukan untuk disembah, tetapi antara lain untuk dinikmati keindahannya.

Ketika sahabat-sahabat Nabi Muhammad saw. menduduki Mesir, di sana mereka menemukan aneka patung peninggalan dinasti-dinasti Fir’aun. Mereka tidak menghancurkannya karena ketika itu, ia tidak disembah tidak juga dikultuskan, bahkan kini peninggalan-peninggalan tersebut dipelihara dengan amat baik, antara lain untuk menjadi pelajaran dan renungan bagi yang memandangnya.

Benar bahwa  ada riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa “Malaikat tidak masuk ke satu rumah bila di dalamnya terdapat patung,” tetapi itu bila patung tersebut disembah, atau  melanggar sopan santun atau mengundang selera rendah. Menikmati keindahan adalah fitrah manusia secara universal, sedang Islam adalah agama universal yang bertujuan  membangun peradaban.  Kebenaran, kebaikan, dan keindahan adalah tiga unsur mutlak bagi satu peradaban. Mencari yang benar menghasilkan ilmu, menampilkan kebaikan mencerminkan moral, dan mengekspresikan keindahan melahirkan seni. Namun, ketiganya tidak berarti jika tidak ada yang menggali, menampilkan, dan mengeksperesikannya.

Selanjutnya perlu dicatat bahwa peradaban tidak dapat dibangun dengan mengabaikan hasil positif yang telah dicapai oleh siapa pun pada masa lalu. Karena itu, dari mana pun sumber kebenaran, maka Islam menerimanya. “Hikmah adalah milik orang mukmin; di mana pun ia temukan, maka ia lebih berhak mengambilnya. Kenalilah kebenaran pada ide, bukan pada pencetusnya,” demikian beberapa ungkapan populer yang dikenal dalam literatur Islam. Prinsip di atas berlaku juga menyangkut  keindahan dan kebaikan. Di mana atau siapa pun yang mencetuskan atau mengeksperesikannya, selama sejalan/tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang dibenarkan Islam, maka itu dapat saja diterima, tanpa harus mempertimbangkan agama, bangsa, atau ras pencetusnya.

Seni Islami tidak harus berbicara tentang Islam atau hanya dalam bentuk kaligrafi ayat-ayat al-Qur’an. Lalu, yang pasti seni Islami bukan sekadar nasihat langsung atau anjuran mengikuti kebajikan. Ia adalah ekspresi keindahan tentang alam, kehidupan dan manusia yang sejalan dengan nilai-nilai Islam. Seni Islam adalah yang mempertemukan keindahan dengan hak/kebenaran. Karya indah yang menggambarkan sukses perjuangan Nabi Muhammad saw., tetapi  dilukiskan sebagai buah kegeniusan beliau terlepas dari bantuan Allah, karya itu bila dilukiskan demikian tidak dapat dinilai sebagai seni Islami. Sebaliknya, mengekspresikan keindahan yang ditemukan pada ternak ketika kembali ke kandang dan ketika melepaskannya ke tempat penggembalaan, sebagaimana diungkapkan oleh QS. an-Nahl [16]: 6, dapat merupakan seni Islami selama mengundang keagungan Allah. Boleh jadi ada yang menduga bahwa Islam tidak merestui seni, pandangan itu keliru. Memang Islam tidak menyetujui  seni yang terlepas dari nilai-nilai Islami  atau yang melukiskan kelemahan manusia dengan tujuan mengundang tepuk tangan dan membangkitkan selera rendah. Demikian, wa Allâh A’lam.

http://quraishshihab.com/uncategorized/islam-dan-seni/
May 6, 2014