Dialog Aktifis Seni Rupa, Pemegang Kebijakan, Pengusaha dan Seniman Akademisi

Loading

Dialog tanpa batas ruang dan waktu, 18 Mei 2024 di Bale Seni Barli lanjut ke Bale Pare-pare bersama Rudi ST Darma (Aktifis Seni Rupa), Pak Warli (Kaprodi Seni Rupa UPI), Posisi berdiri : Evi Gunawan (Pengelola Bale Seni Barli) , Lukman Zen (GBSRI), Nizaranis (Pengusaha dan praktisi gerabah).

Dialog Aktifis Seni Rupa, Pemegang Kebijakan, Pengusaha dan Seniman Akademisi
Perjalanan Kesenirupaan dari Tahun 80-an hingga Dekade 2000-an
Oleh : Lukman Zen

Pendahuluan
Dialog antara aktivis seni rupa, pemegang kebijakan, pengusaha dan akademisi seni rupa merupakan wadah penting untuk memahami dan mengevaluasi perjalanan kesenirupaan dari tahun 80-an hingga dekade 2000-an. Periode ini menyaksikan transformasi besar dalam dunia seni rupa, baik di tingkat lokal maupun global. Artikel ini akan membahas dialog tersebut, dengan fokus pada perkembangan, tantangan, dan pencapaian dalam kesenirupaan selama beberapa dekade ini, serta memberikan perspektif pengusaha terhadap kondisi ini.

Perjalanan Seni Rupa pada Tahun 80-an
Tahun 80-an adalah era yang ditandai dengan semangat eksperimentasi dan kebangkitan seni kontemporer di banyak negara, termasuk Indonesia. Pada masa ini, seni rupa mulai merambah ruang-ruang baru dan menemukan bahasa visual yang lebih berani dan eksperimental.

Pengaruh Globalisasi
Seni rupa di Indonesia, misalnya, sangat dipengaruhi oleh arus globalisasi. Para seniman mulai lebih sering terpapar oleh tren dan gaya internasional, baik melalui pameran maupun pendidikan di luar negeri. Sebagai contoh, Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) di Indonesia muncul sebagai reaksi terhadap konvensi seni rupa tradisional, mengusung tema-tema sosial-politik yang relevan dengan kondisi masyarakat saat itu.

Jamuan dan Dialog Santai setelah Koordinasi Agenda Pameran antar Generasi, bersama : Lukman Zen (GBSRI), Rina (K22 Ibu), Suryadi (Kaprodi DKP UPI Bandung), Bandi (FPSD UPI Bandung), Ariesa Pandanwangi (Ka K22 ibu dan Dosen Marantha), Warli (Kaprodi Seni Rupa UPI Bandung)

Dialog dengan Pemegang Kebijakan
Selama periode ini, dialog antara seniman dan pemegang kebijakan mulai intensif. Pemerintah mulai menyadari potensi seni rupa sebagai alat diplomasi budaya dan promosi pariwisata. Namun, ada juga tantangan berupa regulasi yang kadang-kadang membatasi kebebasan berekspresi.

Menurut teori seni kontemporer oleh Hal Foster (1983), seni pada era ini mulai mengambil peran kritis terhadap masyarakat, yang tercermin dalam karya-karya yang mengeksplorasi identitas, politik, dan budaya.

Transisi pada Tahun 90-an
Memasuki tahun 90-an, seni rupa mengalami transformasi signifikan dengan kemunculan teknologi digital dan internet. Ini membuka peluang baru bagi seniman untuk bereksperimen dengan media digital dan memperluas jangkauan karya mereka ke audiens global.

Seni dan Teknologi
Seniman mulai mengeksplorasi digital art, video art, dan instalasi interaktif. Pameran seni rupa mulai menggunakan teknologi sebagai bagian integral dari karya, yang tidak hanya menarik audiens baru tetapi juga menciptakan bentuk-bentuk interaksi yang baru. Tokoh seperti Agus Suwage dan Heri Dono menjadi ikon dalam penggunaan media campuran dan teknologi dalam karya seni mereka.

Peran Akademisi dan Pendidikan Seni
Akademisi seni rupa memainkan peran penting dalam membentuk wacana seni pada dekade ini. Kurikulum di lembaga pendidikan seni mulai memasukkan mata kuliah tentang teknologi dan seni digital. Akademisi seperti Jim Supangkat menjadi penggerak utama dalam kritik dan teori seni kontemporer di Indonesia, memberikan kerangka teoritis bagi seniman untuk memahami dan mengembangkan praktik mereka.

Dalam buku “Art and Electronic Media” oleh Edward A. Shanken (2009), dijelaskan bagaimana media elektronik mengubah cara seniman berinteraksi dengan karya mereka dan audiens, menciptakan pengalaman yang lebih imersif dan interaktif.

Dekade 2000-an: Globalisasi dan Identitas
Dekade 2000-an menyaksikan perkembangan lebih lanjut dari seni rupa dengan pengaruh kuat globalisasi dan pencarian identitas lokal. Seniman mulai menggabungkan elemen-elemen tradisional dengan teknik-teknik modern, menciptakan karya yang kaya akan makna dan kontekstual.

Kolaborasi dan Eksperimentasi
Kolaborasi antar-disiplin menjadi tren utama. Seniman rupa bekerja sama dengan musisi, penulis, dan ilmuwan untuk menciptakan karya yang multidimensi. Pameran seni mulai menampilkan instalasi multimedia yang menggabungkan suara, video, dan seni visual dalam satu ruang pameran.

Dialog santai di Nakara Book, Cafe & Learning Space – Jl. Sukajadi No.140, Pasteur, Kec. Sukajadi, Kota Bandung, Jawa Barat

Tantangan dan Kebijakan
Dialog dengan pemegang kebijakan tetap penting. Peraturan mengenai hak cipta, kebebasan berekspresi, dan dukungan pemerintah terhadap seni menjadi topik hangat. Seniman sering kali harus bernegosiasi dengan kebijakan yang mungkin membatasi ruang gerak mereka.

Menurut Stuart Hall dalam “Cultural Identity and Diaspora” (1990), identitas budaya menjadi fokus utama dalam seni kontemporer, di mana seniman berusaha menemukan dan mengekspresikan identitas mereka di tengah arus globalisasi.

Perspektif Pengusaha Terhadap Dialog Ini
Pengusaha yang terlibat dalam dunia seni, baik sebagai kolektor, sponsor, maupun investor, melihat perkembangan ini sebagai peluang untuk mengembangkan bisnis yang berkelanjutan dan mendukung ekonomi kreatif. Seni rupa memiliki potensi ekonomi yang besar, baik melalui penjualan karya seni, pameran, maupun kolaborasi dengan sektor lain seperti pariwisata dan pendidikan.

Potensi Ekonomi Seni Rupa

  1. Investasi Seni : Karya seni dapat menjadi aset investasi yang berharga. Kolektor seni yang cermat dapat melihat peningkatan nilai karya seiring waktu.
  2. Pameran dan Galeri : Pameran seni dan galeri menjadi tempat yang menarik bagi wisatawan dan pecinta seni, yang dapat meningkatkan pendapatan daerah.
  3. Edukasi dan Workshop : Mengadakan workshop dan kursus seni dapat menarik minat masyarakat dan membuka peluang bisnis baru.

Menurut Richard Florida dalam bukunya “The Rise of the Creative Class” (2002), ekonomi kreatif, termasuk seni rupa, merupakan salah satu pendorong utama pertumbuhan ekonomi di era modern. Kreativitas dianggap sebagai aset yang dapat meningkatkan daya saing dan inovasi dalam berbagai sektor.

Kesimpulan
Perjalanan seni rupa dari tahun 80-an hingga dekade 2000-an adalah refleksi dari perubahan sosial, politik, dan teknologi yang luas. Dialog antara aktivis seni rupa, pemegang kebijakan, dan akademisi seni rupa menunjukkan betapa dinamisnya dunia seni dalam menghadapi dan merespons perubahan tersebut. Pengusaha melihat potensi besar dalam dunia seni, baik dari segi ekonomi maupun pengaruh sosial. Melalui dialog ini, seni rupa tidak hanya bertahan tetapi juga berkembang menjadi alat ekspresi yang kuat dan relevan.***

 

Daftar Pustaka

  • Foster, H. (1983). “The Anti-Aesthetic: Essays on Postmodern Culture.” Bay Press.
  • Shanken, E. A. (2009). “Art and Electronic Media.” Phaidon Press.
  • Hall, S. (1990). “Cultural Identity and Diaspora.” In J. Rutherford (Ed.), “Identity: Community, Culture, Difference.” Lawrence & Wishart.
  • Supangkat, J. (1997). “Gerakan Seni Rupa Baru: 1975-1989.” PT Grasindo.
  • Soemantri, G. (2013). “Seni Rupa Kontemporer: Konsep, Bentuk, dan Praktik.” Pustaka Pelajar.
  • Florida, R. (2002). “The Rise of the Creative Class: And How It’s Transforming Work, Leisure, Community and Everyday Life.” Basic Books.