Tentang Sebuah Rebranding Desa
Oleh : Lukman Zen
Pameran seni lukisan tidak lagi terbatas pada galeri-galeri ternama dan representatif. Inisiatif “Lukisan Masuk Desa” yang digagas oleh Fajar Fadjar Sutardi melalui Omah Langit Kebun Bumi menghadirkan pameran lukisan di desa, memanfaatkan rumah Limasan sebagai ruang pameran. Pameran ini berlangsung pada dua periode, yaitu 4-11 Juni 2023 dan 23-31 Mei 2024, dengan tema “ISTIRAH, PENDAKIAN MAKRIFAT DALAM DIRI”. Kegiatan ini tidak hanya menampilkan karya seni dari seniman lokal dan kota-kota lain, tetapi juga menyertakan ribuan buku seni rupa.
Konsep pameran di rumah ini menciptakan suasana yang lebih akrab dan intim antara pengunjung dan seniman, mendorong interaksi yang lebih mendalam dan personal. Hal ini juga merupakan bagian dari upaya rebranding desa, memperkenalkan desa sebagai pusat kebudayaan yang dinamis dan menarik minat wisatawan serta penikmat seni. Dampak positif dari pameran ini dirasakan oleh komunitas lokal, baik dari segi peningkatan apresiasi seni maupun peluang ekonomi yang muncul.
Pameran lukisan kini tak harus di Galeri- galeri ternama dan representatif. Omah Langit Kebun Bumi yang digawangi Fadjar Sutardi menggelar pameran lukisan di desa, di Omah (rumah). Lukisan dipajang di rumah Limasan dengan berbagai keunikannya sebagai rumah. Pameran ini juga menggelar buku- buku seni rupa yang jumlahnya ribuan. Selain karya Fajar Sutardi, karya perupa dari Jogja, Pacitan dan beberapa kota lain juga dipamerkan. Hal yang menarik ketika pameran digelar dirumah, terjadi interaksi yang intens antara pengunjung dan seniman, lebih akrab. Tempat : Rumah langit Kebun Bumi, Clupak RT 25 Mojopuro, Sumberlawang Sragen – Jawa Tengah.
Pameran seni rupa sering kali diidentikkan dengan galeri-galeri besar di kota-kota besar yang menyediakan ruang eksklusif bagi para seniman untuk menampilkan karya-karya mereka. Namun, inisiatif “Lukisan Masuk Desa” yang digagas oleh Fadjar Sutardi melalui Omah Langit Kebun Bumi menghadirkan sebuah paradigma baru dalam penyelenggaraan pameran seni. Dengan memanfaatkan rumah Limasan sebagai ruang pameran, kegiatan ini tidak hanya memindahkan lokasi pameran ke desa, tetapi juga membawa serta nuansa keakraban dan interaksi yang lebih personal antara seniman dan pengunjung.
Pameran ini berlangsung dalam dua periode, yaitu OMAH#1 pada tanggal 4-11 Juni 2023 dan OMAH#2 pada tanggal 23-31 Mei 2024, dengan tema “ISTIRAH, PENDAKIAN MAKRIFAT DALAM DIRI”. Selain menampilkan karya seni dari Fajar Sutardi, pameran ini juga menghadirkan karya-karya dari seniman Jogja, Pacitan, dan beberapa kota lainnya. Salah satu aspek menarik dari pameran ini adalah keberadaan ribuan buku seni rupa yang turut dipajang, memperkaya pengalaman pengunjung dengan referensi dan wawasan baru.
OMAH#1 : 4-11 Juni 2023
26 Peserta : Achmad dardiri, Anang Sharon, Catur Darmawan, Digdo Irianto, Eduard Edo Pop, Junaidi Sukarta, Katirin, Kharisma N.Adha, Maram Thaher, Masbukin, Qomarudin, Syaiful Adnan, Sulistiyo Chung, Sentot, Sukaryadi, Endang S. Handayani, Esterica Yunianti, J.Christanto, Jaya Adi, Nanang Widjaya, Nanang Yulianto, Nabila, Rispul, Sidik Ihwani, Subandiyo, Tulis Warsito, Zulkarnain
OMAH#2 : 23-31 Mei 2024
20 Peserta : Achmad Sanusi, Anwar Sanusi, Alex Danny S, Arum Adiiyanti, Bambang Hariyanto, Digdo Irianto, Djunaidi Sukarta, Fadjar Sutardi, Haryadi, Jaya Adi, Kartono Penjawi, Katirin, Maram Thaher, Nanang Yulianto, Qomarudin, Subandiyo, Sidik Ihwani, Suwarno, Yusron Wahyudi, Zaini Muhammad
Konsep Omah, yang dalam bahasa Indonesia berarti rumah, tidak hanya merujuk pada bangunan fisik tempat tinggal, tetapi juga sebagai tempat berteduh, bekerja, beribadah, berdiskusi, dan berkegiatan. Bagi masyarakat Jawa, rumah memiliki makna yang sangat mendalam sebagai pusat kehidupan setelah kebutuhan wanita dan harta benda. Dengan menggelar pameran di rumah, Fajar Fadjar Sutardi berupaya mengembalikan seni ke akar budaya masyarakat, sekaligus memperkuat ikatan sosial dan budaya di komunitas lokal.
Pameran “Lukisan Masuk Desa” ini juga bertujuan untuk rebranding desa, memperkenalkan desa sebagai pusat kebudayaan yang dinamis dan menarik minat wisatawan serta penikmat seni. Interaksi yang intens antara pengunjung dan seniman menciptakan suasana yang lebih akrab dan personal, berbeda dengan suasana formal yang sering kali ditemukan di galeri-galeri kota. Selain itu, pameran ini memberikan dampak positif bagi komunitas lokal, baik dari segi peningkatan apresiasi seni maupun peluang ekonomi yang muncul.
Omah sebagai Tempat Pameran
Dalam bahasa Indonesia, Omah berarti rumah, tempat tinggal, tempat berteduh, tempat bekerja, tempat beribadah, tempat diskusi, tempat kajian, dan sebagainya. Bagi orang Jawa, rumah merupakan bagian utama setelah kebutuhan wanita dan harta benda. Dengan memilih rumah sebagai tempat pameran, Fajar Fadjar Sutardi tidak hanya menghidupkan kembali tradisi lokal tetapi juga memberikan pengalaman yang unik bagi pengunjung dan seniman.
Penyebutan rumah sesuai dengan perkembangan sosiokultural, sosiografis, sosiopsikhis muncul nama-nama rumah sesuai dengan daya guna dan fungsinya, baik berkonotasi positif atau sebaliknya. Kuping dan mata masyarakat dalam menafsirkan pikirannya juga berbeda-beda. Misalnya dalam tatanan sosial,ekonomi dan kemajuan budaya modern, tidak aneh kalau muncul nama rumah dengan konteksnya itu sendiri. Penggunaan sebutan rumah sakit, rumah makan, rumah bordil, rumah penginapan, rumah panti jompo, rumah budaya, rumah seni, rumah konsultasi, rumah sewa, rumah halaqoh, rumah pijat untuk bayi dan dewasa, rumah dan seabreg sebutan lainnya yang berkaitan dengan rumah makin berkembang dan menjamur. Kata wisma yang dahulu pernah booming, sekarang makin surut dan tidak banyak yang memakainya.
Penggunaan kata rumah dan seni makin akrab bagi para pengelola galeri seni, pelaku seni dan juga kurator seni. Salah satu contoh adalah Rumah Langit Kebun Bumi milik kami sekeluarga. Kata yang menjadi kalimat tersebut, sekarang tidak asing lagi, baik maknawiyahnya dan lahiriyahnya. RLKB, sebutan lain dari rumah seni kami, sebenarnya dilihat dari perjalanan historiknya cukup panjang. Dahulu rumah pemberian mertua saya ini, bertujuan mulia, yakni rumah yang berguna untuk ngaji bagi anak-anak kampung kami, sesuai dengan tuntutan zaman bertambah kegunaannya yakni sebagai rumah untuk latihan dan pentas teater. Rumah ini, dikenal sebagai sanggar. Sanggar Dialog namanya. Aktivitas anggota teater surut, kemudian saya kembali nggrap seni rupa, berubahlah nama menjadi RLKB. Tetapi semua hal tersebut, hanya memperkaya image dan nilai-nilai selaku seniman. Senada dengan pendapat Heru Hikayat dalam jurnal Kitch’edisi 2004/2005 menulis rumah seni, galeri, sanggar dan lainnya, sesungguhya hanya mempertahankan nilai-nilai karya dan kesenimanan mereka. Kalau boleh dikasarkan, arti rumah atau galeri ya sama dengan toko. Toko berkonotasi bisnis material, sementara rumah seni atau galeri bisnisnya spiritualitas.
Rumah seni memang sifatnya bertugas menampung nilai-nilai intrinsik pribadi, juga sebagai medan istirah dalam mengelola nilai-nilai dan spiritualitas. Banyaknya tamu-tamu yang datang ke RLKB mungkin memiliki kesamaan gelombang energi yang sama, sehingga berdiskusi sambil guyon bisa berjam-jam. Inilah bedanya, ya sama sih, cuma bedanya dodolan spritualitas atau nilai. Tentu nilai yang memuat intelektual, rasional dan dapat dipertanggunjawabkan secara ilmiyah atau non ilmiyah. Pameran bertajuk Omah#2 memang masih berusaha mengakumulasikan nilai-nilai yang terkadang mengharukan sekaligus dirindukan. Itu bedanya. Ethak-ethakmen merawat pendakian makrifat, syukur sampai hakikat.
Rebranding Desa melalui Seni
Menggelar pameran seni rupa di desa adalah salah satu upaya untuk melakukan rebranding desa. Desa tidak lagi hanya dipandang sebagai tempat yang terpencil dan kurang berkembang, tetapi menjadi pusat aktivitas seni dan budaya. Melalui pameran ini, desa dapat menarik lebih banyak pengunjung, baik dari dalam maupun luar daerah, yang tertarik dengan seni rupa dan budaya lokal.
Keunikan Pameran di Omah
- Interaksi yang Intens : Pameran di rumah menciptakan interaksi yang lebih dekat antara pengunjung dan seniman. Pengunjung dapat berkomunikasi langsung dengan seniman, bertanya tentang karya mereka, dan mendapatkan pemahaman yang lebih dalam tentang proses kreatif mereka.
- Nuansa Tradisional : Rumah Limasan sebagai tempat pameran memberikan nuansa tradisional yang unik. Keindahan arsitektur tradisional Jawa berpadu dengan karya seni modern menciptakan kontras yang menarik dan harmonis.
- Koleksi Buku Seni Rupa : Selain lukisan, pameran ini juga menampilkan ribuan buku seni rupa. Ini memberikan kesempatan bagi pengunjung untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang seni rupa dan mendapatkan inspirasi dari berbagai sumber.
Dampak Positif pada Komunitas Lokal
Menggelar pameran seni rupa di desa memiliki dampak positif yang signifikan pada komunitas lokal. Pertama, ini membantu meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap seni rupa di kalangan masyarakat desa. Kedua, pameran ini dapat mendorong perkembangan ekonomi lokal dengan menarik lebih banyak pengunjung dan menciptakan peluang bisnis baru. Ketiga, ini juga dapat memupuk rasa kebanggaan dan identitas lokal di kalangan penduduk desa.
Kesimpulan
Pameran “Lukisan Masuk Desa” yang digagas oleh Fajar Fadjar Sutardi adalah sebuah terobosan dalam dunia seni rupa. Dengan memanfaatkan rumah sebagai galeri, pameran ini menciptakan suasana yang lebih akrab dan intim antara pengunjung dan seniman. Ini tidak hanya memperkaya pengalaman seni bagi pengunjung tetapi juga membantu rebranding desa sebagai pusat kebudayaan. Dampak positifnya terhadap komunitas lokal menunjukkan bahwa seni dapat menjadi alat yang efektif untuk pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.
Pameran lukisan di Omah Langit Kebun Bumi adalah inovasi yang menarik dan bermanfaat. Ini tidak hanya memperkaya pengalaman seni rupa bagi pengunjung tetapi juga membantu menghidupkan kembali tradisi lokal dan meningkatkan kesejahteraan komunitas desa. Dengan mengadakan pameran di rumah tradisional, seniman dan pengunjung dapat menikmati keindahan seni dalam konteks yang lebih akrab dan bermakna.***
Daftar Pustaka
- Dewey, John. Art as Experience. New York: Perigee Books, 1934.
- Geertz, Clifford. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books, 1973.
- McLuhan, Marshall. Understanding Media: The Extensions of Man. New York: McGraw-Hill, 1964.
- Sartwell, Crispin. Six Names of Beauty. New York: Routledge, 2004.
- Berger, John. Ways of Seeing. London: Penguin Books, 1972.
- Gombrich, E.H. The Story of Art. London: Phaidon Press, 1950.