Mimesis dan Rasionalitas dalam Perkembangan Seni

Loading

Ilustrasi Lukisan Karya : Idham Chalik

pergi jauh ke timur atau ke barat, dimanapun tempat itu akan selalu ada“barat”nya

Prolog

Dalam perkembangan seni, konsepsi rasionalitas sering dibicarakan sebagai suatu hal yang berasal dari kebudayaan barat. Konsep rasionalitas dalam perkembangan seni ini bermula ketika digunakannya konsep yang terlihat oleh mata dijadikan dasar dalam mengolah bentuk-bentuk seni (reproduksi alam).Pandangan seni yang berusaha untuk menggambarkan alam sekitar dengan tertib ini bermula di Yunani pada sekitar abad keenam sebelum masehi (bersamaan waktu perpindahan kedua nenek moyang orang Indonesia dari Yunan Asia Tenggara). Seni bagi orang Yunani pada masa itu adalah tiruan alam atau disebut “mimesis”.

Mimesis merupakan salah satu wacana yang ditinggalkan Plato dan Aristoteles sejak masa keemasan filsafat Yunani Kuno, hingga pada akhirnya Abrams memasukkannya menjadi salah satu pendekatan utama untuk menganalisis seni selain pendekatan ekspresif, pragmatik dan objektif. Mimesis merupakan ibu dari pendekatan sosiologi seni yang darinya dilahirkan puluhan metode kritik seni yang lain.

Mimesis berasal  bahasa Yunani yang berarti tiruan. Dalam hubungannya dengan kritik sastra mimesis diartikan sebagai pendekatan sebuah pendekatan yang dalam mengkaji karya sastra selalu berupaya untuk mengaitkan karya sastra dengan realitas atau kenyataan. Perbedaan pandangan Plato dan Aristoteles menjadi sangat menarik karena keduanya merupakan awal filsafat alam, merekalah yang menghubungkan antara persoalan filsafat dengan kehidupan ( Ravertz.2007: 12).

Banyak contoh yang dapat diambil dari seni lukis yunani purba atau lebih-lebih lagi seni patungnya. Bagi orang-orang Yunani seni adalah tiruan alam atau “mimesis” (dari kata “mimic”, seasal dengan istilah “mimicry” dalam ilmu hayat) yang disebut oleh Aristoteles, “..omnis ars nature imitation est” (Soedarso:1990:28).

Pandangan Plato dan Aristoteles Mengenai Mimemesis

Pandangan Plato mengenai mimesis sangat dipengaruhi oleh pandangannya mengenai konsep Idea-idea yang kemudian mempengaruhi bagaimana pandangannya mengenai seni.

Plato menganggap Idea yang dimiliki manusia terhadap suatu hal merupakan sesuatu yang sempurna dan tidak dapat berubah. Idea merupakan dunia ideal yang terdapat pada manusia. Idea oleh manusia hanya dapat diketahui melalui rasio,tidak mungkin untuk dilihat atau disentuh dengan panca indra. Idea bagi Plato adalah hal yang tetap atau tidak dapat berubah,  misalnya idea mengenai bentuk segitiga, ia hanya satu tetapi dapat ditransformasikan dalam bentuk segitiga yang terbuat dari kayu dengan jumlah lebih dari satu . Idea mengenai segitiga tersebut tidak dapat berubah, tetapi segitiga yang terbuat dari kayu bisa berubah (Bertens1979:13).

Berdasarkan pandangan Plato mengenai konsep Idea tersebut, Plato sangat memandang rendah seniman dan penyair dalam bukunya yang berjudul Republic bagian kesepuluh. Bahkan ia mengusir seniman dan sastrawan dari negerinya. Karena menganggap seniman dan sastrawan tidak berguna bagi Athena, mereka dianggap hanya akan meninggikan nafsu dan emosi saja. Pandangan tersebut muncul karena mimesis yang dilakukan oleh seniman dan sastrawan hanya akan menghasilkan khayalan tentang kenyataan dan tetap jauh dari ‘kebenaran’. Seluruh barang yang dihasilkan manusia menurut Plato hanya merupakan copy dari Idea, sehingga barang tersebut tidak akan pernah sesempurna bentuk aslinya (dalam Idea-Idea mengenai barang tersebut). Sekalipun begitu bagi Plato seorang tukang lebih mulia dari pada seniman atau penyair. Seorang tukang yang membuat kursi, meja, lemari dan lain sebagainya mampu menghadirkan idea ke dalam bentuk yang dapat disentuh panca indra. Sedangkan penyair dan seniman hanya menjiplak kenyataan yang dapat disentuh panca indra (seperti yang dihasilkan tukang), mereka oleh Plato hanya dianggap menjiplak dari jiplakan (Luxemberg:16).

Menurut Plato mimesis hanya terikat pada ide pendekatan. Tidak pernah menghasilkan kopi sungguhan, mimesis hanya mampu menyarankan tataran yang lebih tinggi. Mimesis yang dilakukan oleh seniman dan sastrawan tidak mungkin mengacu secara langsung terhadap dunia ideal.  (Teew.1984:220). Hal itu disebabkan pandangan Plato bahwa seni dan sastra hanya mengacu kepada sesuatu yang ada secara faktual seperti yang telah disebutkan di muka. Bahkan seperti yang telah dijelaskan di muka, Plato mengatakan bila seni hanya menimbulkan nafsu karena cenderung menghimbau emosi, bukan rasio (Teew. 1984:221).

Aristoteles adalah seorang pelopor penentangan pandangan Plato tentang mimesis, yang berarti juga menentang pandangan rendah Plato terhadap seni. Apabila Plato beranggapan bahwa seni hanya merendahkan manusia karena menghimbau nafsu dan emosi, Aristoteles justru menganggap seni sebagai sesuatu yang bisa meninggikan akal budi. Teew (1984: 221) mengatakan bila Aristoteles memandang seni sebagai katharsis, penyucian terhadap jiwa. Karya seni oleh Aristoteles dianggap menimbulkan kekhawatiran dan rasa khas kasihan yang dapat membebaskan dari nafsu rendah penikmatnya.

Aristoteles menganggap seniman dan sastrawan yang melakukan mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataan, melainkan sebuah proses kreatif untuk menghasilkan kebaruan. Seniman dan sastrawan menghasilkan suatu bentuk baru dari kenyataan indrawi yang diperolehnya. Dalam bukunya yang berjudul Poetica (via Luxemberg.1989:17), Aristoteles mengemukakakan bahwa sastra bukan copy (sebagaimana uraian Plato) melainkan suatu ungkapan mengenai “universalia” (konsep-konsep umum). Dari kenyataan yang menampakkan diri kacau balau seorang seniman atau penyair memelih beberapa unsur untuk kemudian diciptakan kembali menjadi ‘kodrat manusia yang abadi’, kebenaran yang universal. Itulah yang membuat Aristoteles dengan keras berpendapat bahwa seniman dan sastrawan jauh lebih tingi dari tukang kayu dan tukang-tukang lainnya.

Pandangan positif Aristoteles terhadap seni dan mimesis dipengaruhi oleh pemikirannya terhadap ‘ada’ dan Idea-Idea. Aristoteles menganggap Idea-idea manusia bukan sebagai kenyataan. Jika Plato beranggapan bahwa hanya idea-lah yang tidak dapat berubah, Aristoteles justru mengatakan bahwa yang tidak dapat berubah (tetap) adalah benda-benda jasmani itu sendiri. Benda jasmani oleh Aristoteles diklasifikasikan ke dalam dua kategori, bentuk dan kategori. Bentuk adalah wujud suatu hal sedangkan materi adalah bahan untuk membuat bentuk tersebut, dengan kata lain bentuk dan meteri adalah suatu kesatuan (Bertens.1979: 13).

Rasionalitas Pada Konsep Mimesis

Mimesis yang menjadi pandangan Plato dan Aristoteles saat ini telah ditransformasikan ke dalam berbagai bentuk teori estetika (filsafat keindahan) dengan berbagai pengembangan di dalamnya. Luxemberg (1989: 18) menyebutkan bila pada zaman Renaissaince pandangan Plato dan Aristoles mengenai mimesis saat ini telah dipengaruhi oleh pandangan Plotinis, seorang filsuf Yunani pada abad ke-3 Masehi. Mimesis tidak lagi diartikan suatu pencerminan tentang kenyataan indrawi, tetapi merupakan pencerminan langsung terhadap Idea. Dari pandangan ini dapat diasumsikan bahwa susunan kata dalam teks sastra tidak meng-copy secara dangkal dari kenyataan indrawi yang diterima penyair, tetapi mencerminkan kenyataan hakiki yang lebih luhur. Melalui pencerminan tersebut kenyataan indrawi dapat disentuh  dengan dimensi lain yang lebih luhur.

Menurut Plato, dunia ini dibagi tiga. Dunia ide, dunia jasmani, dan karya seni. Dunia ide adalah sumber dari dari segala bentuk / form / ide (sejati). Dunia yang kita tinggali sekarang ini adalah dunia jasmani. Dunia jasmani adalah imitasi dari dunia ide. Maksudnya adalah semua yang kita lihat, semua yang kita genggam, sesuatu yang menurut kita indah, jelek, atau lainnya yang ada di dunia jasmani ini adalah tiruan dari bentuk sejati yang berada.di dunia ide Sebagai contoh, sebuah meja. Sebuah meja yang kita lihat didunia ini bukan meja sejati. Para pembuat meja adalah bukan pencipta meja. Karena konsep tentang ke-meja-an atau meja yang sejati itu ada di dunia ide. Kenapa kita bisa tahu bentuk meja itu harus seperti apa? Karena menurut Plato, sebelum roh kita turun dari dunia ide dan menyatu dengan tubuh kita didunia jasmani ini, roh kita diperkenalkan dulu dengan banyak konsep, salah satu contohnya adalah konsep ke-meja-an. Dengan adanya pemikiran ini berarti didunia jasmani tidak ada yang namanya orisinalitas.

A beautiful flower, is a copy or imitation of the universal Forms “flowerness” and “beauty.”

·The physical flower is one step removed from reality, that is, the Forms.
·A picture of the flower is, therefore, two steps removed from reality.
 

Kalau kita melihat kalimat dari Plato diatas, karya seni (dicontohkan dengan lukisan bunga) itu 2 (dua) langkah menjauhi dari kenyataan atau bentuk sejati. Kenapa? Karena lukisan bunga itu adalah imitasi/tiruan dari bunga yang ada didunia jasmani ini. Sedangkan bunga yang ada didunia ini adalah juga sudah imitasi dari bentuk yang sejati. Yaitu konsep ke-bunga-an. Jadi lukisan bunga itu adalah tiruan dari tiruan dari yang sejati.

Tetapi beda lagi dengan muridnya yang bernama Aristoteles. Menurut Aristoteles, seni bukan hanya sekedar tiruan dari alam. Tetapi juga melibatkan perasaan dari dalam jiwa. Dalam buku Aristoteles yang berjudul Poetic, semua jenis sajak (epic poet, tragedy, comedy), ataupun permainan flute sekalipun adalah sebuah imitasi. Dan ia membagi imitasi itu menjadi 3 (tiga), yaitu :

  • By the means they use.
  • By their Objects.
  • By the manner.

Means yang berarti cara. Dalam hal ini adalah irama, language (dialog, suara orang), dan harmoni. Dari ketiga itu seni bisa berdiri, dengan cara sendiri-sendiri ataupun kombinasi dari ketiganya. Aristoteles mencontohkan, seni sajak itu hanya imitasi dari language, tidak melibatkan harmoni.

Object maksudnya adalah meniru dari sifat-sifat manusia (karakter). Aristoteles berpendapat karakter manusia secara umum ada dua. Virtue and vice (kebaikan dan keburukan).

Manner maksudnya adalah cara penyajian / menampilkan dari suatu karakter. Seorang pemain atau actor berakting / berpura-pura menjadi karakter yang ia perankan dalam suatu cerita, baik atau jahat. Seorang actor melakukan, merepresentasi imitasi terhadap sifat / karakter dari kehidupan nyata (http://beatroom.blog.friendster.com/2005/07/film-imitasi-kehidupan diakses 19/06/2009).

Konsep mimesis zaman reanaissance tersebut kemudian tergeser pada zaman romantic. Aliran romantik menurut Luxemberg (1989:18) justru memperhatikan kembali yang aneh-aneh, tidak riil dan tidak masuk akal. Apakah dalam sebuah karya seni dan sastra mencerminkan kembali realitas indrawi tidak diutamakan lagi. Sastra dan seni tidak hanya menciptakan kembali kenyataan indrawi, tetapi juga menciptakan bagan (modul) mengenai kenyataan. Kaum romantic lebih memperhatikan sesuati dibalik mimesis, misalnya persoalan plot dalam drama. Plot atau alur drama bukan suatu urutan peristiwa saja, melainkan juga dipandang sebagai kesatuan organic dan karena itulah drama memaparkan suatu pengertian mengenai perbuatan-perbuatan manusia.

Yunani yang dalam banyak hal dipandang sebagai sumber kebudayaan Eropa, walaupun sejak awalnya sudah mengenal filsafat dan juga filsafat seni, ternyata tidak juga memiliki kata yang dapat disejajarkan dengan pengertian kita sekarang tentang seni. Istilah yang dekat dengan istilah itu ialah “techne” yang sekarang kita kenal memiliki hubungan langsung dengan perkataan “teknik”. Menurut aristoteles, “techne” adalah kemampuan untuk membuat atau mengerjakan sesutau disertai dengan pengertian yang betul tentang prinsip-prinsipnya. Maka tidaklah mengherankan kalau Plato pernah juga mendefinisikan keindahan (kalon) sebagai keefektifan dalam mencapai tujuan. Tentu saja hal itu dapat disubsitusikan menjadi: ekspresi yang indah adalah ekspresi yang efektif dan efisien (Soedarso:1990:19). Pada masa itu tampaknya tidak ada perbedaan yang tegas antara seniman dan kriyawan, antara artis dan craftsmen, yang berarti tidak ada pembedaan antara “membuat” lukisan dan membuat sepatu atau meja.

Pada abad pertengahan, pengalaman keindahan dikaitkan dengan kebesaran alam ciptaan Tuhan, pada masa ini pengalaman estetis dikaitkan dengan pengalaman religi. Pada jaman modern, pengalaman keindahan dikaitkan dengan tolak ukur lain seperti fungsi, efisiensi, yang memberi kepuasan, berharga untuk dirinya sendiri, pada cirinya sendiri, dan pada tahap kesadaran tertentu.

Kajian mengenai keindahan telah didokumentasikan dari jaman antik hingga sekarang. Pada jaman antik keindahan dalam Arsitektur dihargai lebih tinggi dibandingkan dengan keindahan obyek-obyek lainnya, akan tetapi secara mendasar tingkat keindahan pada aneka objek itu sama penting.

Ketika peradaban Mesir menghasilkan banyak objek yang kita sebut hari ini sebagai indah, kata keindahan secara nyata tidak pernah hadir pada tulisan tulisan saat itu. Di Mesir, ahli bangunan dan pematung/seniman menggunakan teori proporsi yang berkaitan dengan rumus-rumus matematik untuk mencapai keindahan, sebagai dasar untuk mengkonstruksikan sistem proporsi seperti yang kemudian dipergunakan secara luas.

Pada abad pertengahan, penelitian tentang keindahan umumnya diklasifikasikan sebagai cabang dari teologi. Hal ini dikarenakan adanya pendapat bahwa keindahan adalah atribut dari Tuhan. Penulis yang patut dicatat adalah Augustinus (354 -430: De vera religione). Ia mengatakan bahwa keindahan berdasarkan atas kesatuan dan keberaturan yang mengimbangi kompleksitas. Masing masing cara mengatur itu adalah melalui rhythm, simetri atau proporsi-proporsi sederhana (perbandingan ukuran yang enak dilihat). (www.uiah.fi diakses 19/06/2009)

Filosof lain yang terkenal adalah Thomas Aquino ( 1225 – 1274 ), menulis mengenai esensi dari keindahan. Rumusannya yang terkenal adalah “keindahan berkaitan dengan pengetahuan”. (www.uiah.fi diakses 19/06/2009)

Sesuatu disebut indah jika menyenangkan mata sipengamat, namun disamping itu terdapat penekanan pada pengetahuan bahwa pengalaman keindahan akan bergantung pada pengalaman empirik dari pengamat. Hal yang selalu mencolok adalah kondisi dan sikap terhadap subyek keindahan, persiapan individu untuk memperoleh pengalaman estetik. Selanjutnya, ia berpikir bahwa keindahan adalah hasil dari tiga sarat : keseluruhan ( lat. Integritas) atau kesempurnaan, keselarasan yang benar ( lat. Proportio) dan kejelasan atau kecemerlangan.(www.uiah.fi diakses 19/06/2009) Secara umum gagasan Thomas Aquinas merupakan rangkuman segala filsafat keindahan yang sebelumnya telah dihargai. Sejalan dengan Aristoteles, Thomas Aquinas menekankan pentingnya pengetahuan dan pengalaman empiris-aposteriori yang terjadi dalam diri manusia (Sutrisno,dalam“Estetika dan Keindahan” http://ndreh.2itb.com/contact.html diakses 19/06/2009)

Ketika mengkaji secara empirik obyek yang sulit untuk didefinisikan atau diukur secara langsung, pendefinisian dapat dipermudah dengan perbandingan dengan obyek objek atau benda lain, yang lebih mudah untuk dikaji, karena telah dikenal. Kemudian, daripada menggunakan real definition untuk sementara dapat digunakan definisi nominal untuk objek atau benda tersebut. Cara ini telah dimanfaatkan dalam pengkajian tentang keindahan oleh St.Augustinus dan Thomas Aquino. Jauh sebelumnya, pada kebudayaan Yunani, definisi definisi nominal sudah banyak digunakan seperti pada tulisan Plato “Dialog”, dimana terdapat beberapa bagian yang mencoba untuk memperjelas pengertian kata “keindahan”. Metoda yang dilakukan tidak benar-benar empirik; metoda yang digunakan pada jaman ini mirip dengan fenomenologi modern yang menekankan terjadinya ilham Seni dalam penciptaan karya Seni itu sendiri dan juga menekankan kesinambungan pengamatan karya Seni dengan muncul dan berkembangnya rasa keindahan atau pengalaman estetis. (Sutrisno,dalam “Estetika dan Keindahan” http://ndreh.2itb.com/contact.html diakses 19/06/2009)

Tulisan tulisan Plato mengenai keindahan banyak didasari pada doktrinnya mengenai “idea”. Menurut Plato segala kenyataan yang ada di dunia ini merupakan peniruan (mimesis) dari yang asli, dan yang asli menurutnya adalah yang terdapat didunia atas saja idea bukan di dunia nyata ini dan adalah jauh lebih unggul daripada kenyataan didunia ini.

Selanjutnya Plato berpendapat bahwa seseorang seharusnya mencoba menemukan pengetahuan dibelakang segalanya, yaitu pengetahuan tentang yang nyata dan permanen (Yunani ; episteme = pegetahuan ) yang hadir sebagai pengertian tentang ‘idea’.

Satu dari unsur/ciri ‘idea’ itu adalah keindahan (Yunani; to kalon), sifat permanen yang dimiliki oleh semua objek objek yang indah. Plato menitik beratkan pada pengalaman awal dari dirinya dan muridnya (audience), dan juga pada maksud-maksud yang diakumulasikan pada kata kata dari bahasa konvensional. Ketika memahami kata Yunani untuk indah, kalos, Plato mencatat bahwa kata ini pertama bermaksud ‘baik’ dan ‘pantas’.

Dari “Timaeus” dapat dikutip bahwa sesuatu yang dipahami oleh akal dan pengetahuan akan tetap, akan tetapi sesuatu yang dipahami oleh pendapat yang menolong sensasi, dan tanpa pengetahuan, akan selalu dalam proses menjadi dan binasa yang tidak pernah mencatat hal-hal yang benar benar ada. Esensi yang tetap dari keindahan akibat dari proporsi proporsi yang tepat yaitu dari perbandingan ukuran. Gagasan ini dihubungkan pada penelitian dan falsafah Pytagoras ( 532 SM ) yang telah mengembangkan sistem proporsi-proporsi aritmatika tertentu dalam instrumen musik, seperti panjang string, menghasilkan harmoni nada. Berdasarkan pada harmoni musik ini masyarakat Yunani mencoba untuk menerangkan juga keindahan dalam proporsi-proporsi tubuh manusia, Arsitektur, dan objek-objek lain.

Aristoteles (384-322 SM) memiliki kebiasaan untuk memperjelas konsep konsep melalui perhitungan komponen-komponen. Untuk keindahan (Yunani : kalliste) hal tersebut adalah keberaturan , perulangan ukuran (Yunani : symmetria) dan kepastian. Dalam pembahasan ilmiah mengenai Seni, dipikirkan bahwa keindahan merupakan bagian dari objek.Tidak semua filosof jaman antik setuju pada teori keindahan tersebut. Secara kontras, Epicurus menyajikan teori yang berbeda, menetapkan bahwa ketika seseorang merasakan keindahan, perasaan pribadi (Yunani; hedone) dilibatkan. Dalam tulisan Epicurus, ditemukan teori hedonistik yang orisinal, yang mengaitkan pengalaman indah dengan perasaan yang menyenangkan.

Vitruvius, dalam hal ini tampak mengadopsi teori Plato dan Epicurus dan mencoba menggabungkan keduanya dalam teorinya sendiri. Pada kenyataanya, ia sependapat dengan Epicurus yang mengatakan bahwa keindahan sama dengan keanggunan, akan tetapi sensasi keanggunan akan dihasilkan artefak jika telah memiliki proporsi yang benar. Hal ini tidak identik dengan gagasan yang dibawa dari Plato. Vitruvius menulis dalam bukunya instruksi-instruksi praktis bagi rancangan yang memungkinkan seniman mencapai keindahan dalam karya, ia menyajikan teori Desain yang mengikut-sertakan faktor faktor kualitatif, tidak saja faktor konstruktif. Vitruvius mengatakan bahwa bangunan adalah indah bila rupa penampilan dari pekerjaan menyenangkan, dalam cita-rasa yang baik, dan ketika setiap bagian sesuai dengan proporsi yang mengacu pada prinsip-prinsip yang tepat, seperti simetri (simetri dalam pengertian ‘persetujuan yang tepat antara bagian bagian karya itu sendiri, dan hubungan antara bagian bagian yang berbeda dengan skema umum secara keseluruhan, dalam kesesuaian dengan standar yang terpilih). Vitruvius, mencetuskan prinsip dasar dari Arsitektur, yaitu : Keberaturan, Sintaks, Eurythmy, Symmetry, Propriety, Efesiensi. (Fundamental Principles of Architecture)

Selama abad-abad pertengahan, proporsi-proporsi dan perban-dingan-perbandingan ukuran diperhatikan sebagai atribut yang penting bagi keindahan objek-objek. Renaissance membangkitkan kembali pengkajian dari proporsi Pythagoras yang menggunakan bentuk bentuk geometris melalui perbandingan matematis.

Seorang arsitek besar pada masa Renaissance, Leon Battista Alberti ( 1404 -1472 ), menekankan pada aspek formal dari bangunan dan detailnya, proporsi dan ornamen. Ia menyelidiki syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam karya Seni lukis, Seni pahat dan Arsitektur dari sudut pengolahan materi, untuk mencapai kesatuan dari bagian bagian karya Seni sehingga menjadi utuh. Keindahan (lat. Pulchritrudo) adalah ‘harmoni dari semua bagian, dalam bentuk apapun, dipasangkan bersama dalam proporsi dan hubungan yang tepat, sehingga tidak ada lagi yang dapat ditambahkan, dikurangi atau dirubah, selain untuk bertambah buruk’, hal inilah yang dicari melalui bentuk bentuk pada latihan latihan Nirmana Ruang . Hal ini sebagai perkataan bahwa sesuatu supaya menyenangkan harus harmonis, proporsional, dan hubungan antara bagian bagian dari objek tersebut harus seimbang. Dasar yang disusun oleh Alberti kemudian dielaborasi lebih luas sebagai teori Desain Arsitektur oleh generasi generasi berikutnya hingga sekarang, seperti dapat dilihat pada materi tugas Nirmana Ruang di pendidikan Arsitektur dan Desain. (Fundamental Principles of Architecture)

Selanjutnya, dikenal juga Leonardo da Vinci yang secara khusus menyinggung mengenai ketelitian dalam pelaksanaan, hingga unsur terkecil pada satu karya, perlu disempurnakan. Sikap ini kemudian menjadi ciri karya karya abad pertengahan. Ajaran Leonardo da Vinci dan kemudian Buonarotti Michelanggelo diperdalam dengan studi tentang perspektif geometris serta proporsi tubuh manusia dan studi anatomi.

Mayoritas peneliti yang membahas keindahan akhirnya mengadopsi pandangan bahwa cita rasa keindahan bukanlah semata berasal dari sifat-sifat objek saja, akan tetapi juga tergantung pada kondisi pengamat dan lingkungan. Kajian mengenai keindahan sebagai kualitas objek Seni telah dilanjutkan lebih sistematis dalam pendekatan modern tahun 1928 ketika matematikawan Amerika George David Birkhoff mempresentasikan persamaannya;
M = O / C
Nilai keindahan = hasil dari keberaturan dibagi kompleksitas
M = ( measure )Nilai keindahan
O = ( order )Keberaturan
C = ( complexity )Kompleksitas

Dua elemen terakhir dari persamaan Birkhoff memang dapat dihitung dan diberi angka. Seperti yang dipakai oleh Birkhoff sendiri, dimana ia menguji persamaannya pada suatu vas bunga, dengan jumlah elemen yang terbatas ( hanya terdiri dari tiga garis lengkung), tingkat keberaturan yang rendah (disusun secara simetris saja), maka nilai keindahan dari vas menjadi tidak tinggi ( angka kecil dibagi tiga ).

Pada dekade selanjutnya, para peneliti keindahan ,terutama di Jerman, menghimpun pola-pola melalui pemasangan komponen komponen sederhana, mengukur kompleksitas dan bagaimana sistematika pengaturannya, sehingga nilai keindahan sebuah objek dapat dinilai. Namun cara penyelidikan ini tidak sangat berhasil. Banyak seniman menemukan figur yang indah, sebagai pekerjaan Seni yang nyata, tetapi tidak harus/dapat dikaitkan dengan parameter Birkhoff.

Pada saat ini, “mainstream” dari penelitian estetika lebih melihat keindahan bukan sebagai sifat dari objek itu sendiri, tetapi sebagai hasil sensasi atau interaksi antara persepsi dan obyek. Masalah keindahan ternyata kadang kadang dikaitkan dengan ajaran agama, seperti lukisan lukisan geometris Islam yang dipengaruhi oleh ajaran yang mengharamkan penggambaran makhluk hidup.

Persepsi karya Seni sebagai kesenangan indra tidak sesuai dengan filosofi gereja kristen muda. Definisi keindahan sebagai sesuatu yang layak dikaji telah ada dalam Kitab Injil , dikarenakan tekanan Gereja hal ini tidak dapat berkembang. Baru setelah jaman Renaissance, teoritikus Arsitektur pertama yang menonjol, Philibert de l’Orme ( sekitar 1510 – 1570 ) mempengaruhi perkembangan yang memunculkan psikologi modern dari persepsi.

Philibert de l’Orme tidak mempercayai keindahan berdasarkan proporsi-proporsi saja, setelah ia membuktikan melalui pengukuran bahwa Panthenon memiliki kolom kolom Corinthian yang dirancang dengan tiga sistem proporsi yang berbeda ( menentang hukum Vitruvian yang mengizinkan hanya satu set proporsi ). Ia menyimpulkan bahwa dimensi yang layak untuk kolom bergantung pada seberapa tinggi kolom tersebut, dan posisi kolom itu, apakah di letakan rendah atau tinggi dalam struktur bangunan. Hal ini memberi pengertian bahwa keindahan kolom tidak bergantung pada bentuk aktual dari kolom itu sendiri, melainkan hanya merupakan impresi akhir seseorang ketika melihat kolom tersebut. Hal ini mendorong de l’Orme untuk menambah model model baru daftar model kolom tradisional mengenai keberaturan sebuah rancangan.

Pemikiran Philibert de l’Orme selanjutnya dikembangkan oleh rekan senegaranya, Claude Perrault (1613 – 1688) dan diekspresikan secara khusus dalam ulasannya berupa terjemahan ke bahasa Perancis mengenai Vitruvius pada tahun 1673. Perrault menyatakan dalam ulasan tersebut bahwa keindahan tidaklah absolut (beautà c positive ); melainkan, pengetahuan tentang keindahan diperoleh melalui kebiasaan atau belajar (beautà c arbitraire). (Www.uiah.fi diakses 19/06/2009)

Pada tahun 1750, Alexander Gottlieb Baumgarten melihat adanya syarat syarat tertentu dalam menafsirkan pekerjaan-pekerjaan Seni. Ia ingin mengetahui secara pasti mengapa seseorang dapat mengalami keindahan dan sanggup mengapresiasi pekerjaan Seni. Selanjutnya ia melakukan penelitian psikoogi Seni. Baumgarten tidak menggunakan lagi kata keindahan melainkan mengambil istilah “estetika” dari bahasa Yunani ‘aisthekos’, yang dihubungkan dengan persepsi.

Inisiatif Baumgarten tidak dengan segera memunculkan teori yang meyakinkan. Hipotesis yang lebih baik disajikan oleh Immanuel Kant ( 1724 – 1804 ), yang membuat estetika menjadi bagian dari sejarah umum filsafat, dalam bukunya “Kritik der Urteilskraft”(1790). Mengikuti langkah Epicurus, ia menetapkan bahwa “keindahan adalah segala sesuatu yang menyenangkan semua orang dan menghargai opini mereka bahwa objek yang menyenangkan adalah indah”. Gagasan Baumgarten mengenai keindahan secara empirik telah diletakkan oleh George Th.Fechner. dalam eksperimen laboratoriumnya. Ia mengkaji preferensi dari masyarakat biasa yang tidak dilatih mengenai estetika terhadap karya Seni. Eksperimen-eksperimennya kemudian diikuti oleh peneliti lain, seperti Weber, yang menemukan bahwa terdapat beberapa ketetapan pada ulasan masyarakat mengenai keindahan objek dan bentuknya, dimana proporsi Phytagoras, dan proporsi yang disebut Golden Section tidak digunakan. (Www.uiah.fi diakses 19/06/2009)

Pada tahun-tahun selanjutnya, kajian Fechner berkembang menjadi cabang penting dari sains, yaitu psikologi persepsi. Contoh penelitian Arsitektur yang dipengaruhi oleh jiwa psikologi persepsi adalah “Arkitekturens uttrycksmedel” oleh Sven Hesselgren (1954). Buku tersebut dipengaruhi oleh contoh J.S. SirÃcns ( Finnish Professor pada arsitekture, 1889 – 1961 ) pengajar bentuk: “Resep untuk membuat keindahan tidak dapat selalu ditemukan, akan tetapi dengan menganalisanya, kita dapat menentukan penyebab terjadinya perbedaan impresi, keaslian dan sumbernya, dan kemudian menjadikan Arsitektur lebih mudah, yaitu ketika desainer menjadi lebih sadar terhadap sifat kreasinya dan faktor faktor yang mengarahkan pada hasil”.

J.S. SirÃcns menerangkan bahwa sebuah pola atau figur dapat menyenangkan mata bila dengan mudah dapat dimengerti, dan ini selanjutnya memberikan kepuasan. Perancang tidak boleh menimbulkan ketidak jelasan pada pengamat. Ia menemukan dasar dasar yang bersifat psikologis bagi sejumlah hukum arsitektural, sebagai contoh dasar mengenai kontras. Dalam kehidupan sehari hari, hal yang luar biasa adalah refreshmen yang didasarkan pada kontras. Panas dan dingin, malam dan siang, bayang dan kilap, air dan api, gunung dan lembah, kerja dan bermain adalah konsep dan fenomena penting yang biasa didekati untuk menjawab kebutuhan yang sama akan rangsangan, umumnya terdapat didalam Desain. (Www.uiah.fi diakses 19/06/2009)

Pada awalnya, banyak peneliti yang masih membagi persepsi pada tiga fase yaitu, persepsi – kognisi – intrepretasi dan evaluasi. Hal ini berbeda dengan pandangan umum pada saat ini, bahwa pada satu tahapan terdapat aspek aspek yang berbeda, sehingga garis stimuli-respon-tindakan tidak bersifat linier.

Ketika seniman sedang menarik outline, bagian bawah sadar ternyata mematuhi aturan aturan tertentu, yang dikenal dengan hukum-hukum Gestalt. Sebagai contoh, ketika manusia melihat sebuah figur yang tidak sempurna, akan dilengkapi menjadi figur yang dapat dikenal (asosiasi). Manusia cenderung untuk melengkapi bagian bagian yang tidak lengkap berdasarkan kemiripan gambaran dalam memorinya. Tanda tanda yang dekat satu sama lain cenderung bergabung dalam pikiran untuk membuat kesatuan yang lebih besar. Jika terdapat kemiripan pada beberapa tanda, maka tanda-tanda tersebut akan saling bergabung membentuk satu kesatuan. Outline membantu asosiasi agar terjadi proses persepsi. Konsep outline (Jerman;Gestalt) pertama kali disajikan dalam ilmu psikologi oleh Christian von Ehrenfels pada tahun 1890. Ia mengarahkan perhatiannya pada kenyataan bahwa untuk mengerti sebuah komposisi, keseluruhan outline lebih penting daripada bagian. Jika urutan komposisi diubah menjadi susunan baru, semua komposisi akan menjadi sesuatu yang lain tetapi keseluruhan outline dari komposisi tersebut tetap sama. Www.uiah.fi diakses 19/06/2009)

Epilog

Dengan melihat uraian diatas, maka dapat dilihat beberapa sudut pandang dan sikap manusia terhadap keindahan. Pada masa Yunani, kemudian pada abad pertengahan, keindahan ditetapkan sebagai bagian dari teologi.

Pada abad pertengahan di Barat, tekanan diletakan pada subjek, proses yang terjadi ketika seseorang mendapatkan pengalaman keindahan. Pada jaman modern, tekanan justru diletakkan pada obyek, sehingga tampak bahwa estetika dipertimbangkan sebagai dari cabang dari sains, khususnya filsafat dan psikologi.

Perdebatan antara Plato dengan Aristoteles yang kemudian berkembang pada jaman setelahnya, telah menimbulkan banyak pertanyaan yang kemudian dijawabkan oleh ahli-ahli berikutnya. Baru dengan timbulnya istilah “fine art” (seni murni) dalam abad kedelapan belas, mulailah terlihat adanya pemisahan antara seniman dan kriyawan. Seniman adalah orang yang bekerja di bidang seni murni dan kriyawan ialah mereka yang bergumul dengan seni pakai. Walaupun pada akhir abad kesembilan belas di Inggris terdapat usaha untuk mempersatukan kembali (dipelopori oleh John Ruskin dan William Morris) setelah menyadari bahwa akar dari kepincangan yang ada dalam masyarakat adalah pemisahan kerja dari kenikmatan dan pemisahan seni dan kekriyaan yang kemudian diikuti oleh gerakan “Werkstatte” di Austria dan “Bahaus” di Jerman (Soedarso:1990:20). Konsepsi “fine art” tetap digunakan dalam ruang lingkup pendidikan seni di banyak Negara termasuk Indonesia hingga saat ini. Gerakan yang mencoba mempersatukan kembali itu akhirnya menjadi cabang baru ilmu yaitu industrial design.

Selanjutnya, perkembangan senirupa sejak tahun 60an sampai sekarang telah menunjukkan suatu perkembangan yang berbaur dengan berbagai disiplin seni, seperti munculnya seni Happening, seni Instalasi, Multimedia dan lain-lain, juga batasan antara seni kria yang betul-betul memiliki kemahiran teknik (buatan tangan) dengan campuran yang menggunakan alat industri, juga perkembangan teknologi fotografi yang demikian maju.

Apa yang menjadi perdebatan dalam seni rupa terkait dengan konsep “mimesis” sangat berbeda dengan apa yang terjadi pada dunia seni acting maupun film (dalam konteks “mimesis”). Film yang baik adalah film yang dapat melibatkan emosi penonton kedalamnya. Sehingga penonton selalu menanti-nanti apa yang akan dilihat dan apa yang akan terjadi berikutnya. Penonton selalu mengharapakan sesuatu. Sebuah kejutan adalah sesuatu yang sangat dinanti oleh penonton. Pendapat Aristoteles dalam apresiasi dunia acting ataupun teater: “Tragedi” akan berhasil ditonton dalam diri penonton bila terjadi “Katarsis”. Katarsis adalah penyucian yang dihasilkan kesedihan, kesenanan (emosi) dan untuk mendapatkan itu semua dibutuhkan keutuhan (6 elemen) yaitu Plot, karakter, diction, though, spectacle dan melody. Banyak film yang gagal mendapatkan katarsis atau emosinya karena lemah diantara salah satu dari banyak dari elemen-elemen tersebut (http://beatroom.blog.friendster.com/2005/07/film-imitasi-kehidupan/ diakses 19 06 2009).

Setelah sedikit mengenal tentang apa itu mimesis dan juga sedikit tentang total system dalam film, maka kita tahu apa fungsinya dan kenapa kita bisa begitu masuk dalam suatu cerita film. Dengan imitasi dari lingkungan sekitar yang akurat baik dari cerita, dan total system semua yang seharusnya sama sekali tidak nyata terlihat sangat hidup dimata penonton. Imitasi yang akurat membuat film itu menjadi logis dan dapat dipercaya.

Perdebatan-perdebatan yang timbul kemudian banyak melahirkan adanya konsepsi dalam seni yang suka berubah-ubah ini memberikan peringatan kepada kita untuk bersikap hati-hati dalam menghadapi ide-ide baru yang bermunculan, agar tidak selalu aprioris menolak setiap yang dianggap bertentangan dengan konsepsi yang sedang dianut, tetapi juga tidak harus selalu menerima yang baru hanya karena takut dikatakan dirinya ketinggalan jaman.

Daftar Pustaka

A.Buku

Bertens, K. 1979. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius
Luxemberg, Jan Van dkk. 1989. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia (judul asli Inleiding in de literatuur Wetenschap. 1982. Muiderberg: Dikck Countinho B.V Vitgever. Diterjemahkan oleh Dick Hartoko)
Ravertz, Jerome R. 2007. Filsafat Ilmu: Sejarah dan Ruang Lingkup Bahasan. Yogyakarta: Pelajar Offset (Judul asli The Philosophi of Science. 1982. Oxford University Press, diterjemahkan oleh Saut Pasaribu)
SP, Soedarso. 1990. Tinjauan Seni . Yogyakarta:Saku Dayar Sana
Teew. A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya
 

B.Internet

Dinda m. djunanda, film = imitasi kehidupan??http://beatroom.blog.friendster.com/2005/07/film-imitasi-kehidupan diakses 19/06/2009
Estetika dan Keindahanhttp://ndreh.2itb.com/contact.html diakses 19/06/2009 Link : www.uiah.fi diakses 19/06/2009
Seni dan Keindahan. http://members.fortunecity.com/senirupa/senirupa/id2.html diakses 19/06/2009
Sumber : https://www.kompasiana.com/iiculyogya/54fff66ca33311026d50f8a0/mimesis-dan-rasionalitas-dalam-perkembangan-seni