Oleh : Lukman Zen
Sebagian dari pesantren-pesantren di Indonesia memang pernah menjadi pusat garapan dan pengembangan seni budaya, terutama yang bercorak lokal. Misalnya, seni tembang (Macapat, Cianjuran, Cigawiran, dlsb), itu hanya sebagian kecil dari hasil karya pesantren ketika lembaga pendidikan khas Islam di nusantara itu sedang pada jaman keemasannya.
Hingga tahun 60-an masih banyak kyai yang memberi tempat bagi kehidupan seni budaya, seiring dengan kegiatan belajar-mengajar sehari-hari. Memasuki era 1970-an yang ditandai dengan menggelindingnya semangat pembangunan fisik di berbagai bidang, pesantren lebih berperan sebagai sarana kegiatan sosial-politik bagi pemerintah beserta partai pendukungnya. Perubahan orientasi inilah yang menjadi penyebab pengumpulan apresiasi seni-budaya di pesantren.
Ketika berperan sebagai pusat pengembangan budaya lokal, pesantren telah mampu memberi corak tersendiri terhadap berbagai jenis karya budaya. Pencak Silat dan Reog (dua jenis karya budaya Sunda tradisi) mendapat penafsiran khusus ala pesantren, sehingga dapat dinikmati sebagai sarana hiburan. Menurut model pesantren, silat adalah jelmaan hablun min an naas. Padanan dari shalat yang merupakaan jelmaan hablun min allah. Silat juga dapat dianggap penggalan dari kata “silaturrahmi” atau jalinan kasih-sayang, sehingga dalam peran dan fungsi silat terdapat unsur-unsur kekangan hawa nafsu merusak lawan tanding.
Silat pada gerak-gerak “igel”, tarian atau “kembang”, mengandung keindahan, ketertiban, kesopanan dan apresiasi estetika yang tinggi. Penampilan lahiriah yang bersih dari kesombongan, ego, dan i’jabun bin nafsi atau membanggakan diri.
Sedangkan, silat pada gerakan-gerakan isinya (eusi) merupakan kedalaman tenaga dan jurus, mengandung aspek-aspek tazkiyah an nafsi (pembersihan diri), tawadlu (kerendahan hati), zuhud dan wara (kehati-hatian). Maka dalam penggunaan-nya, tidak sembarang tempat dan sembarang waktu. Silat mengutamakan kebeningan batiniah, hanya dipergunakan sewaktu-waktu dalam keadaan amat sangat terdesak.
Kesenian reog yang diperankan oleh empat orang pelaku, menggambarkan kerja sama yang harmonis dalam kebajikan dan kepatuhan kepada aturan. Ini merupakan refleksi QS. Al Baqarah ayat 2 yang memerintahkan ta’awanu ‘ala al birri wa at taqwa (kerja sama dalam kebajikan dan taqwa) dan larangan ta’awanu ‘ala al itsmi wa al ‘udwan (kerja sama dalam dosa dan permusuan).
Dalam alur cerita reog terdapat proses pertentangan satu sama lain, pembelotan dan membawa jalan sendiri. Sehingga keutuhan barisan (jamaah) akan terganggu. Kemudian muncul proses penyadaran yang dilakukan pemimpin yang teguh memegang aturan (dalang), sebagai pengejawantahan amar ma’ruf nahyi nunkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran). Para pelaku kembali kompak membentuk wihadtush shaf (kesatuan barisan).
Setelah “lepas” dari pengayoman pesantren, pada tahun 1960-an banyak perkumpulan pencak silat dan reog diinfiltrasi oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) organ Partai Komunis Indonesia (PKI). Akibatnya setelah meletus G-30-S pada 30 September 1965, banyak tokoh pencak silat dan reog yang mendekam di penjara. Mereka dianggap terlibat dalam G-30-S/PKI walaupun kebenarannya tidak pernah dibuktikan di pengadilan.
Terpisahnya pesantren dengan aktivitas seni-budaya merupakan sebab-akibat dari perubahan sistem pembelajaran, disamping sebab-akibat perubahan sosio-politik dan menurunnya apresiasi seni-budaya di kalangan komunitas pesantren dan keseluruhan komunitas sosial lainnya.
Pada tahun 1950-an, banyak pesantren yang mayoritas berasosiasi dengan Nahdlatul Ulama (NU), terseret ke pusaran politik praktis. Hal ini disebabkan oleh perubahah NU yang semula jam’iyah (organisasi sosial keagamaan) menjadi partai politik. Apalagi setelah Partai NU menjadi pemenang ketiga Pemilu 1955. Puluhan tenaga kyai pesantren diboyong ke Parlemen (DPR) dan Konstituante (MPR). Kejutan budaya (cultural shock) sekaligus kejutan politik (political shock) itu tak sempat diantisipasi, baik oleh kalangan pesantren maupun oleh NU sendiri.
Terjadilah kekosongan penerus berikut jejak garapannya. Guncangan tersebut menjadikan banyak pesantren surut ke wilayah paling pokok. Yaitu mengajarkan pengetahuan agama Islam yang dipersempit pada aspek ilmu figh (hukum). Sedangkan ilmu fiqh itu sendiri, yang memang amat penting, hanya sebagian yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kemudian muncullah bentuk “pesantren modern” yang merupakan perpaduan pesantren dengan madrasah berizajah resmi. Pesantren yang tetap mempertahankan kurikulum orientasi fiqh dikategorikan “tradisional” walaupun sudah tidak mampu lagi mempertahankan nilai-nilai tradisi pesantren yang sesungguhnya. Yaitu pesantren yang selain mengajarkan ilmu-ilmu Islam, juga memelihara dan mengambangkan seni-budaya yang tumbuh di sekitar lokasi pesantren.
Surutnya peran pesantren dalam memelihara dan mengembangkan seni-budaya, yang menempatkan pesantren “terpinggirkan” dari percaturan seni-budaya masa kini, mungkin karena pengaruh faktor-faktor tertentu. Seperti halnya apa yang terjadi pada ligkungan birokrasi. Pada zaman kolonial dahulu, birokrasi mampu berperan sebagai pengayom seni budaya, bahkan banyak tokohnya baik bupati, wedana dan camat yang aktif sebagai seniman dan apresiator seni budaya yang handal. Sekarang mereka hanya berperan sebagai “agen” dan “broker” atau “makelar seni”. Mengatur aliran dana proyek untuk satu kegiatan seni budaya yang kadang-kadang tidak “nyeni” dan tidak “berbudaya”. Jarang sekali tokoh-tokoh birokrat yang menjadi pelaku seni-budaya seperti pada zaman ”Kangjeng Dalem” dahulu.
Jika ada kegiatan seni-budaya di pesantren sekarang, lebih bersifat sporadik. Digerakkan oleh orang “luar” pesantren yang mendapat wawasan dan pengetahuan seni budaya di luar pesantren. Misalnya, Acep Zamzam Noor yang menggerakkan “Komunitas Azan” di Pesantren Cipasung Tasikmalaya atau beberapa santri peminat seni budaya membentuk “Komunitas Malaikat” di Pesantren “Darul Arqam” Ciparay Bandung. Sedangkan orang-orang “asli” pesantren belum lagi tampak muncuat dalam gebrakan ini.
Untuk mengembalikan ke posisi semula diperlukan banyak perangkat. Selain kesadaran budaya pihak pengelola pesantren juga sistem sosio-ekonomi-politik keseluruhan yang betul-betul memihak kepada seni dan budaya. ****